UIN Walisongo Gelar Seminar Hukum Bertajuk Antara Kewenangan Dan Keadilan Rakyat, Telaah Kritik Konstruktif Terhadap RKUHAP, UU Kejaksaan, dan Polri
3 min read
SEMARANG, Mediasaurapublik – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang mengadakan seminar bertajuk “Antara Kewenangan & Keadilan Rakyat: Telaah Kritik Konstruktif terhadap RKUHAP, UU Kejaksaan & UU Polri.” Kegiatan yang dilaksanakan di Gedung Teater Lantai 3 ISDB Prof. Qodri Aziziy – UIN Walisongo tersebut, berlangsung dari pukul 14.00 WIB hingga 16.00 WIB, dihadiri lebih dari 50 peserta yang berasal dari kalangan akademisi, mahasiswa, dan praktisi hukum.
Acara ini digagas oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) FISIP UIN Walisongo sebagai bentuk kepedulian mahasiswa terhadap perkembangan isu hukum yang sedang berkembang di Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk mengkritisi berbagai aspek dalam Undang-Undang Kejaksaan dan Kepolisian yang dinilai memiliki potensi untuk memengaruhi sistem hukum dan keadilan di Indonesia. Tema seminar ini dinilai relevan dengan situasi hukum yang tengah berlangsung di negara ini, dengan harapan dapat menjadi suara perubahan demi penegakan hukum yang lebih adil dan setara.
Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber yang memiliki keahlian di bidang hukum, yaitu, Prof. Dr. Ahmad Fanani, M.Ag. (Guru Besar Hukum Islam UIN Walisongo Semarang), Dr. Novita Dewi Masyithoh, S.H., M.H. (Praktisi & Kepala Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah & Hukum UIN Walisongo Semarang), Drs. H. Nur Syamsudin, M.Si. (Dosen Fakultas Sosial & Politik UIN Walisongo).
Ketiga narasumber tersebut memberikan pandangan kritis terhadap beberapa isu yang berkembang dalam konteks hukum Indonesia, khususnya mengenai kewenangan jaksa, polri, serta penyusunan undang-undang yang bisa berisiko menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.
Prof. Dr. Ahmad Fanani, M.Ag., dalam pemaparannya, menyoroti kewenangan jaksa yang semakin meluas, seperti kewenangan dalam bidang intelijen dan penyelidikan. Ia menyebutkan bahwa dengan kewenangan yang semakin besar, jaksa berpotensi bertindak sebagai pengendali perkara dengan dalil asas dominus litis, yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Fanani juga mengingatkan potensi kekebalan hukum bagi jaksa, yang dapat menimbulkan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
“Jika kewenangan jaksa terlalu besar tanpa ada mekanisme check and balance yang kuat, maka penyalahgunaan kekuasaan akan sangat mungkin terjadi,” ujar Prof. Ahmad.
Dr. Novita Dewi Masyithoh, S.H., M.H., mengkritisi sinkronisasi antara UU Kejaksaan dengan RKUHAP yang seringkali menimbulkan overlapping kewenangan antara lembaga penegak hukum. Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya terkait pasal dalam RKUHAP yang memberikan kewenangan kepada jaksa dan polri untuk bertindak di luar batasan kewenangan masing-masing.
“Jika jaksa diberikan kewenangan yang seharusnya menjadi tugas kepolisian, hal ini akan menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem penegakan hukum,” jelasnya. Menurutnya, hal tersebut dapat menambah masalah dalam integritas dan sinergitas antar aparat penegak hukum.
Drs. H. Nur Syamsudin, M.Si., menekankan bahwa sistem sentralistik dalam UU Kejaksaan yang baru berpotensi melemahkan otonomi daerah, mengurangi independensi kejaksaan, dan menurunkan prinsip checks and balances. Ia juga menyoroti perlunya judicial review untuk menguji potensi pelanggaran prinsip-prinsip tersebut serta menguji kewenangan jaksa dalam UU Kejaksaan yang baru.
“Jika UU Kejaksaan ini tidak diperbaiki, kita akan menghadapi ketimpangan dalam penegakan hukum yang dapat merugikan kepercayaan publik dan menciptakan ketidakadilan,” ujar Nur Syamsudin.
Kegiatan ini juga menekankan peran mahasiswa dalam mendorong perubahan dalam sistem hukum Indonesia. Dr. Nur Syamsudin mengingatkan bahwa mahasiswa memiliki kekuatan strategis dalam mengkritisi kebijakan dan ikut terlibat dalam proses judicial review. Melalui diskusi dan pemahaman mendalam terhadap regulasi yang ada, mahasiswa dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap perbaikan sistem hukum di Indonesia.
“Mahasiswa perlu memahami undang-undang terkait, ikut berpartisipasi dalam diskusi, dan membaca analisis dari para pakar untuk dapat memahami dampak hukum yang dihasilkan oleh kebijakan tersebut,” tambahnya. [UWS/Red]