Berburu Pablo Escobar Asal Indonesia, Fredy Pratama !
5 min readBareskrim Polri merilis gambar gembong narkoba Fredy Pratama di Lapangan Bhayangkara, Jakarta, Selasa (13/9/2023). FOTO : ANTARA/Laily Rahmawaty
JAKARTA, Mediasuarapublik – Nama Fredy Pratama kini tengah menjadi sorotan oleh pihak kepolisian Indonesia dan bahkan menjadi daftar buron internasional. Sang gembong narkoba asal Indonesia itu menjadi pengendali utama saat Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengungkap aset yang disita dalam jaringan tersebut mencapai Rp10,5 Triliun.
Jumlah itu berasal dari barang bukti tindak pidana asal (TPA) dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari 2020-2023. Perinciannya, mulai dari sabu sebanyak 10,2 ton, ekstasi 116.346 butir, ratusan rekening, belasan kendaraan dan 4 aset bangunan. Sementara itu, untuk TPPU, Bareskrim telah menyita aset tanah bangunan yang tersebar di delapan kota besar Indonesia, 109 rekening dan sejumlah aset Fredy di Thailand.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol. Mukti Juharsa menegaskan bahwa pemburuan terhadap jaringan Fredy telah dilakukan Bareskrim dan jajaran polda sejak 2020 sampai 2023. Total ada 408 laporan polisi yang diungkap dengan jumlah tersangka sebanyak 884 orang. Bahkan, Bareskrim membentuk satuan tugas khusu (satgassus) untuk memburu jaringan Fredy dengan sandi operasi “Escobar Indonesia”.
“Ini [Escobar] sandinya, karena terbesar diungkap,” kata Mukti.
Berdasarkan catatan kepolisian, Fredy memiliki beberapa nama julukan seperti The Secret, Cassanova, Air Bag, dan Mojopahit. Mengacu pada catatan yang sama, dia telah menjadi bandar narkoba sejak 2009 dan belum pernah tertangkap. Dia kini menjelma sebagai bandar narkoba terbesar di Indonesia yang mengendalikan peredaran narkoba secara masif di kota-kota besar di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.
Satgassus bergerak sejak Mei 2023. Dalam operasi tersebut, tim satgassus menangkap sebanyak 39 tersangka dalam pekan ini. Ketiga puluh sembilan tersangka merupakan lapisan atas yang memiliki peran seperti pasukan wilayah Barat, wilayah Timur untuk penyebaran sabu dan ekstasi, kemudian pembuatan dokumen palsu seperti KTP dan rekening, serta sebagai penjual, penampung keuangan, dan pengendalian keuangan.
Dalam membongkar jaringan Fredy, Bareskrim menyita barang bukti narkoba serta aset tersangka Fredy berupa barang bukti sabu seberat 10,2 ton, ekstasi sebanyak 116.346 butir, uang tunai miliaran rupiah, serta bangunan dan tanah. Bila dikonversi, nominalnya mencapai Rp10,5 triliun mulai 2020 hingga 2023.
Tim masih bergerak memburu Fredy dan dua kaki tangannya berinisial FA dan PN yang diketahui sebagai pasangan suami istri.
Mukti mengatakan bahwa Bareskrim Polri bekerja sama police to police dengan kepolisian Thailand dan Malaysia dalam memburu keberadaan Fredy yang diduga tidak berada di Indonesia.
Fredy merupakan buronan Bareskrim Polri sejak 2014, red notice terhadap bandar jaringan narkoba Thailand dan Indonesia itu baru diterbitkan pada bulan Juni 2023.
“Fredy Pratama sudah dibuatkan red notice, dia juga enggak bisa ke mana-mana juga, kecuali dia pakai pemalsuan data, jadi bisa kami lacak juga dia ke mananya. Saat ini orang tua Fredy sudah ditangkap, kemungkinan keluarganya juga akan kami proses TPPU,” ujar Mukti.
Selain memburu Fredy, penyidik Bareskrim Polri juga memburu aset-asetnya untuk disita dan dirampas untuk negara dalam rangka pemiskinan para bandar narkoba agar tidak kembali edarkan narkoba dengan kekayaan yang dimilikinya.
Kemudian, berdasarkan catatan data perlintasan keimigrasian, Fredy telah meninggalkan Indonesia sejak 2014. Awalnya, dia masih mengelola aset keuangannya untuk dikirim ke luar negeri menggunakan rekening keluarga dan orang terdekatnya pada 2016. Namun, ke depannya, gembong narkoba kelas kakap itu telah memakai rekening money changer ilegal. Layaknya seperti belut, kelicinan Fredy mengharuskan aparat penegakan hukum melakukan operasi gabungan lintas negara.
Operasi dan investigasi gabungan ini dilakukan oleh Bareskrim dengan instansi terkait lainnya dan pihak luar negeri, misalnya Royal Malaysia Police, Royal Malaysian Customs Department, Royal Thai Police, hingga US-DEA.
Wakil Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Komisaris Besar Jayadi mengatakan berdasarkan hasil investigasi dari jaringan Fredy yang sudah tertangkap bahwa dia tidak memiliki pabrik.
“Hasil investigasi dari para tersangka yang sudah tertangkap FP tidak punya pabrik,” ujarnya saat dikonfirmasi, Jumat (15/9/2023).
Dengan begitu, Fredy hanya penghubung sekaligus pengendali antara pemilik narkoba di luar negeri dengan jaringannya di Indonesia.
Mukti menyebut bahwa Fredy memiliki keterkaitan dengan kawasan Segitiga Emas atau Golden Triangle. Dikutip dari situs pemerintahan Amerika Serikat (AS), bahwa kawasan Golden Triangle berlokasi di wilayah Burma, China, Laos dan Thailand. Kawasan ini disebut sebagai pusat perekonomian narkoba. Sebab, wilayah itu merupakan tempat penanaman yang ideal bagi bahan baku narkoba jenis opium.
Dalam memuluskan bisnisnya, Fredy menyelundupkan narkoba di kawasan Segitiga Emas menggunakan kemasan teh china yang kemudian dikirim ke Malaysia dan Indonesia.
“Narkoba di beli di segitiga emas dikemas di Thailand dalam teh China dan dikirim ke Malaysia kemudian kirim ke Indonesia,” kata Mukti.
Melansir Reuters, Rabu (13/9/2023), polisi dalam operasi gabungan dengan pihak berwenang Thailand dan Malaysia pekan ini menangkap 39 orang yang diduga terkait dengan sindikat narkoba Fredy. Para tersangka, yang ditangkap di tiga negara tersebut, terkait dengan sindikat “terstruktur” yang memperdagangkan metamfetamin dari ‘Segitiga Emas’ – persimpangan antara Myanmar, Thailand dan Laos yang memiliki sejarah panjang memproduksi narkotika ilegal – ke negara-negara seperti Indonesia.
Jaringan ini dijalankan oleh Fredy yang masih buron, dan sejak tahun 2020 telah mengumpulkan lebih dari Rp10,5 triliun aset termasuk real estat, kata Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Wahyu Widada.
“Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata sindikat Fredy Pratama cukup besar,” ujarnya dalam jumpa pers, Selasa (12/9/2023), seraya menambahkan total polisi telah menyita sekitar 10 ton sabu sejak tahun 2020.
Tidak jelas apakah sindikat tersebut masih beroperasi. Namun, Mukti menegaskan pasokan narkoba jenis sabu dan ekstasi dari jaringan Fredy sudah terputus dan sulit masuk ke Indonesia.
Selanjutnya, para tersangka yang ditangkap di Indonesia dapat menghadapi hukuman mati karena melanggar undang-undang anti-narkotika yang paling keras di dunia.
Hingga kini, Fredy dikabarkan masih berada di Thailand. Keberadaannya didukung oleh mertuanya yang menjadi kartel narkoba di Thailand. Polisi pun melakukan kerja sama baik dengan interpol maupun imigrasi Thailand dan Malaysia untuk mengusut tuntas kasus ini.
Keterlibatan Anggota Polri
Dalam melakukan aksinya, Fredy memanfaatkan personel Polri. Mantan kasat Narkoba Polres Lampung Selatan AKP Andri Gustami dikabarkan terlibat dengan jaringan ini.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun berjanji menindak tegas anak buahnya yang terlibat sindikat jaringan narkoba Fredy.
“Bukan rencana. Pasti kita tindak,” ujar Sigit kepada awak media di Jakarta Selatan, Kamis (14/9/2023).
Penindakan itu dilakukan sebagai komitmen penghargaan dan hukuman. Apalagi, katanya, Tindakan itu termasuk ke dalam bagian yang seharusnya melakukan penegakan.
Untuk diketahui, pelaku sindikat narkoba bakal disangkakan Pasal Primair Pasal 114 Ayat (2) Juncto Pasal 132 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yaitu Mengedarkan Narkotika Golongan I dengan ancaman hukuman pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 6 tahun dan paling lama 20 tahun penjara dan pidana denda minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp10 miliar.
Subsider Pasal 112 Ayat (2) Juncto Pasal 132 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dengan ancaman hukuman pidana mati, penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun penjara dan pidana denda minimal Rp800 juta dan maksimal Rp8 miliar ditambah sepertiga.
Kini, Fredy menjadi buruan polisi di tingkat internasional. Fotonya terpampang dalam laman red notice Interpol. Dalam situs resmi Interpol, tercatat bahwa Fredy Pratama lahir pada 25 Juni 1985 di Banjarmasin dengan jenis kelamin laki-laki. Adapun, dalam foto yang diunggah Interpol, Fredy memiliki rambut hitam panjang dengan mengenakan kaus berwarna biru. [Redaksi]