Penyulingan Minyak Kayu Putih Desa Candisari dan Barurejo Diduga Bodong
3 min readLamongan – mediasuarapublik.com
Usaha penyulingan minyak kayu putih oleh masayarakat saat ini sedang berkembang di dusun Nongko, desa Candisari, kecamatan Sambeng dan di wilayah sektarnya. Usaha untuk membangun bisnis saja tidak cukup namun ada satu hal penting yang harus dipenuhi, yaitu tentang legalitas. Hal tersebut sudah menjadi peraturan wajib untuk seluruh kegiatan usaha.
Menanggapi informasi dari masyarakat, Timsus media harian pagi Suara Publik dan media Destara serta Lembaga LP-KPK melakukan pengembangan informasi langsung ke lokasi penyulingan yang ada di wilayah kecamatan Sambeng, Lamongan.
Ditempat penyulingan milik H Hartono yang berada di dusun Nongko desa Candisari, Timsus ingin menjumpai pemilik penyulingan namun pemilik tidak ada di tempat serta dikediamannya. Kebetulan H Hartono diketahui adalah Kepala Desa Candisari, sehingga Timsus melanjutkan ke kantor desa Candisari, namun lagi – lagi Hartono tidak berada ditempat. Namun sebelumnya di tempat penyulingan milik Hartono, Timsus dapat sedikit keterangan dari Didik yang mengaku pegawai Perhutani sekaligus sebagai ketua kerja di wilayah kemantren daerah tersebut. Dia menjelaskan jika penyulingan ini sudah memiliki izin usaha, namun Didik tidak tahu pasti izin seperti apa yang dikantongi dari penyulingan milik Hartono ini.
Di tempat terpisah Timsus menemui pengusaha penyulingan minyak Kayu putih lainnya di dusun Kedungkidang, desa Barurejo, kecamatan Sambeng Lamongan, yang akrab dipanggil Pak Tik. Dari keterangannya untuk izin penyulingan minyak kayu putih, tidak dapat menunjukan izin dari Dinas Kesehatan (Dinkes) dan hanya menunjukkan surat perjanjian kerjasama (PKS) saja.
Menanggapi permasalahan penyulingan minyak kayu putih pengusaha muda asal kabupaten Lamongan yang mengerti persoalan ini dan menanggapi adanya perjanjian kerjasama antara LMDH dengan pihak Perhutani mengatakan.
“Jadi PKS itu diterbitkan antara perhutani yang diwakili oleh ADM Mojokerto dengan lembaga masyarakat desa hutan (LMDH), salah satunya adalah ketuanya yang tanda tangan perjanjian kerjasama penyulingan. Tapi pada praktek di lapangan mereka para ketua LMDH itu hanya sebagai nama saja, pekerjaan di bawah itu bukan atas nama LMDH tapi perseorangan, dan itu diketahui oleh Perhutani, diketahui oleh Asper dan diketahui oleh Kasi. Yang kedua dasarnya mereka PKS itu harusnya, penyulingan itu sudah mempunyai izin penyulingan, yang diterbitkan oleh kantor perizinan kabupaten Lamongan. Karena penyulingan menghasilkan minyak atsiri harus dilengkapi juga dengan izin UMOT (izin produksi obat tradisional) mereka bisa nggak menunjukkan UMOTnya, karena sebenarnya syarat utama untuk bisa PKS dengan perhutani itu harus punya izin operasional penyulingan minyak kayu putih, tapi ditiadakan itu sama perhitani karena main ditutup-tutupi, supaya orang-orangnya dari oknum – oknum ini bisa nyuling disitu dan bisa dibagi minyaknya seperti itu,” terangnya.
Selain itu ia menambahkan, “Mohon dicek UMOTnya itu ada tidak dari empat penyulingan itu. Kalau PKSnya ini memang antara LMDH dengan perhutani resmi namanya PKS. Tapi kan izin resmi oprasionalan penyulingan minyak kayu puth itu ada nggak. Itu berbeda dengan PKS sebenarnya secara tegas itu harus ada UMOTnya. Kalau memang nggak ada UMOTnya kok boleh produksi kan bahaya, padahal Perhutani juga punya perusahaan penyulingan yang ada di Mojokerto itu perusahaannya sangat besar sekali, kenapa kok dikerjakan dengan LMDH yang tidak punya izin resmi penyulingan,” tandasnya.
Dari keterangan tersebut dimungkinkan adanya pelanggarang tentang perizinan, selain itu patut diduga banyak oknum Perhutani yang bermain didalamnya. [Timsus]