Gerakan Boikot Produk Israel dan Pendukung Berhasil
2 min read
Mediasuarapublik – Seiring dengan digencarkannya Gerakan boikot terhadap produk dari dan pendukung Israel di seluruh dunia, sejumlah perusahaan yang menjadi sasaran boikot mulai ketar-ketir. Mereka memberikan klarifikasi karena gerakan boikot dilaporkan sudah berdampak pada berkurangnya jumlah pelanggan.
Meski, belum ada laporan nilai kerugian terbaru yang diderita Israel, namun laporan Al Jazeera pada 2018 lalu mengungkap bahwa gerakan boikot berpotensi menimbulkan kerugian hingga US$11,5 miliar atau sekitar Rp180,48 triliun (asumsi kurs Rp15.694/US$) per tahun bagi Israel.
Israel jelas khawatir terhadap dampak kerugian ini. Dalam beberapa waktu terakhir, misi prioritas diplomatik Israel adalah penanggulangan gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS).
Bahkan, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah bertindak untuk melarang kelompok-kelompok yang mendukung gerakan boikot. Sebab, ribuan orang di Israel disebut berpotensi kehilangan pekerjaan jika negara mereka diboikot secara penuh oleh internasional.
Dampak boikot terhadap perekonomian Israel
Melansir dari The Jerusalem Post, Israel membantah bahwa gerakan boikot dapat merugikan mereka. Justru, mereka menyebutkan jika hal itu hanya akan “menambah penderitaan rakyat Palestina, bukan menguranginya.”
Organisasi non-profit berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS), Brookings Institution, menyatakan bahwa gerakan BDS tidak akan secara drastis mempengaruhi perekonomian Israel. Sebab, sekitar 40 persen ekspor Israel adalah barang “intermediet” atau produk tersembunyi yang digunakan dalam proses produksi barang di tempat lain, seperti semikonduktor.
Selain itu, sekitar 50 persen dari ekspor Israel adalah barang “diferensiasi” atau barang yang tidak dapat digantikan, seperti chip komputer khusus.
Namun, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa ekspor barang-barang “intermediet” mengalami penurunan tajam dari 2014 hingga 2016 sehingga menimbulkan kerugian sekitar US$6 miliar atau sekitar Rp94,16 triliun.
Berdasarkan data yang dikutip dari RTI beberapa waktu lalu, emiten berkode UNVR atau Unilever terus mengalami tren penurunan harga saham. Bahkan, performa harga saham Unilever Indonesia tak pernah hijau di tengah agresi Israel di Jalur Gaza yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023.
Tercatat, saham UNVR terus merah. Mulai dari 3.590 pada penutupan pekan lalu hingga merosot ke level 3.400-an pada, Kamis (17/11).
Performanya secara mingguan turun 5 persen, jatuh 10,47 persen dalam sebulan terakhir, minus 8,31 persen dalam 3 bulan belakangan, dan anjlok 23,15 persen dalam 6 bulan ini. Sedangkan secara year to date (ytd), harga saham UNVR amblas 27,23 persen.
Sepanjang 6 bulan terakhir, investor asing sudah mencatatkan jual bersih Rp636 miliar. Ini sangat jauh dibandingkan Rp80 miliar investor asing yang masuk, baik melalui pasar negosiasi dan tunai.
Supervisor Customer Literation and Education PT Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi mengatakan tren penurunan saham Unilever Indonesia sudah terjadi sejak awal 2023.
Audi menyinggung laba yang dihasilkan Unilever selalu negatif hingga bulan ke-9 tahun ini dan menjadi salah satu biang keroknya.
“Alhasil, dengan penurunan yang terjadi maka menggerus potensi nilai dividen yang dibagikan sehingga investor cenderung melepas saham UNVR. Karena UNVR termasuk yang hampir membagikan seluruh laba bersihnya sebagai dividen,” kata Audi kepada CNNIndonesia.com.
“Betul (aksi boikot juga berdampak ke performa UNVR). Saya melihat investor langsung bereaksi atas respon boikot tersebut,” sambungnya.
Audi meramal aksi boikot akan berdampak negatif terhadap penjualan produk-produk Unilever Indonesia. Pada akhirnya, investor yang lari berbondong-bondong meninggalkan UNVR tak terelakkan. [AH]